Facebook Fans

Jumat, 12 Oktober 2012

Ibnu Maskawaih


BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Ibnu Maskawaih adalah seorang filosof, dokter, sejarahwan, ahli bahasa, bendaharawan dan teman Sultan ‘Adud al-Daulah. Di kalangan para filosof muslim, ia terkenal karena pemikiran filsafatnya mengenai Akhlak atau Etika. Kalau filosof-filosof muslim pada umumnya membahas soal etika hanya sepintas lalu dalam filsafatnya, maka Ibnu Maskawaih lebih banyak memusatkan perhatiannya pada etika atau akhlak. Karena perhatiannya tersebut ia mendapat gelar “Guru Ketiga”.
            Dalam dunia filsafat, Ibnu Maskawaih telah memberikan system filsafatnya mengenai etika atau akhlak, yang sampai sekarang masih terus dihargai di timur, yang menurut T.J De Boer system ini merupakan hasil kombinasi materi yang diambil Plato, Aristoteles, Galen dan Hukum Agama Islam, walaupun Aristoteles menonjol di dalamnya. System filsafat akhlaknya itu terutama dapat ditelusuri dalam tiga karyanya yang paling penting dalam bidang akhlak, yaitu:
  1. Tatib al-Sa’adah
  2. Tahzib al-Akhlak, dan
  3. Jawidan khirad.
Mengenai fisafat akhalk ini ia mulai dengans ebuah risalah mengenai hakikat esensial jiwa.
Ibnu Maskawaih dalam makalah ini, akan diuraikan mengenai sejarah hidup dan filsafatnya tentang jiwa.

2.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kepribadian, riwayat pendidikan dan kedudukan Ibnu Maskawaih dalam perkembangan filsafat Islam?
2.      Bagaimana Filsafat Ibnu maskawaih tentang Tuhan dan akhlak?

3.      Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah:
1.      dapat mengetahui kepribadian, riwayat pendidikan dan kedudukan Ibnu Maskawaih dalam perkembangan filsafat Islam
2.      mengetahui bagaimana filsafat Ibnu Maskawaih tentang Tuhan dan Akhlak.

BAB II
PEMBAHASAN

1)      Riwayat Hidup Ibnu Maskawih
Nama lengakpnya adalah Abu Ali Al-Khozim Ahmad ibn Muhammad bin Ya’kub bin Miskawaih, atau ada yang menyebut Ibnu Maskawaih atau Miskawaih saja.[1] Nama itu diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan Nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar lain juga  sering disebutkan, yaitu Al-Khazim, yang berarti bendaharawan, disebabkan pada masa kekuasaan Adhud Al-Daulah dari Bani Buwaih ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.[2]
Sebagian penulis memang menyebutkan bahwa Ibnu Maskawaih ini merupakan penganut Syi’ah, karena adanya korelasi gelar Abu ‘Ali yang dinisbatkan kepada sahabat ‘Ali itu. Padahal bisa saja hal ini semata-mata sebagai identifikasi diri kepada pihak penguasa dan bukan sebagai pernyataan bahwa ia penganut aliran Syi’ah, karena memang ia hidup pada masa pemerintahan Bani ‘Abbas di bawah pengaruh Bani Buwaih yang beraliran Syi’ah.
Mengenai tahun kelahirannya, banyak penulis yang berbeda pendapat, diantaranya adalah M. M. Syarif menyebutkan 320 H/932 M. Margoliouth menyebutkan tahun 330 H/932 M, M. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H.. kemudian untuk tahun wafatnya (semua penulis sepakat) pada 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M.[3]
Pada  masa  Miskawaih  masih  dalam  kandungan,  ayahnya  meninggal  dunia.  Ia  dibesarkan  oleh ibunya sampai menginjak dewasa,13  dan setelah itu, bekerja dan tinggal bersama Abu Fadl Ibn Al-‘Amid  sebagai  pustakawannya  selama  tujuh  tahun.  Disamping  itu  ia  juga  bertugas  sebagai  guru privat  bagi  putra  Al-‘Amid.  Pekerjaan  sebagai  guru  privat  tersebut  dilakukannya  sebagai  rasa hormat dan penghargaan  terhadap orang yang dipandang seniornya, sedangkan tugas pokoknya adalah  sebagai  pustakawan.  Ia  juga  pernah  mengabdi  pada  ‘Adud  al-Daulah,  salah  seorang keturunan Bani Buwaih, dan kemudian kepada beberapa penguasa yang lain dari keluarga terkenal itu. Kemudian Ibn Maskawaih meninggal pada tanggal 9 Safar 421 H/ 16 Februari 1030 M.14.[4]
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas/Bani Abbasiyah yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaih yang mulai berpengaruh sejak khalifah Al-Mustakfi. Dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai Perdana Menteri (Amir Al-Umara’) dengan gelar Mu’izz Al-Daulah pada 945 M. Ayahnya, Abu Syuja’ Buwaih adalah pemimpin suku yang amat gemar berperang, dan kebanyakan pengikutnya berasal dari daerah Pegunungan Dailan di Persia, di daerah pegunungan pantai selatan Laut Waswain yang merupakan pendukung keluarga Saman. Tiga anak Buwaih diantaranya Ahmad bin Buwaih, mengadakan ekspansi ke daerah selatan, hingga berhasil menduduki Asfahan, kemudian Syiraz dan daerah sekitarnya pada tahun 934 M. dua tahun berikutnya dia berhasil menaklukkan Khuziztan (Dulu Ahwaz dan Karman). Kemudian Syirazlah yang dipilih menjadi ibukota kekuasaan mereka. Pada tahun 945 M. Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad di saat Bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap Bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah Bani ‘Abbas.
Puncak prestasi atau zaman keemasan kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa “Adhud Al-Daulah yang berkuasa dari tahun 367 hingga 372 H. ‘Adhud Al-Daulah adalah penguasa Islam yang pertama kali menggunakan gelar Syahinzah yangberarti Maharaja, gelar yang dipergunakan raja-raja Persia Kuno. Kecuali prestasinya dalam bidang politik yang luar biasa, yang telah berhasil menyatukan kembali Negara-negara kecil yang memisahkan diri dari pemerintahan pusat hingga menjadi imperium besar, sebagaimana dialami pada masa Harun Al-Rasyid, ‘Adhud Al-Daulah amat besar juga perhatiannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Pada masa inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah; dan pada masa ini jugalah Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. Tetepi di samping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.[5]
2)      Kepribadian Ibnu Maskawaih
Mengenai kepribadiannya ada dua pandangan yang berbeda. Tauhidi seperti yang dikutip M. M. Syarif, mencela Ibnu Maskwaih karena kekikirannya dan kemunafikkannya. Ia tertarik pada bidang kimia bukan demi ilmu, tetapi demi emas dan harta, dan ia sangat mengabdi kepada guru-gurunya. M. M. Syarif sendiri menegaskan bahwa Ibnu Maskawaih adalah seorang ahli sejarah, moralis dan penyair. Sedang Yaqut sepeti yang dikutip M. M. Syarif mengatakan bahwa pada tahun-tahun berikutnya Ibnu Maskawaih mengikuti lima belas pokok penunjuk moral: kesederhanaannya dalam melayani nafsu, ketegaran dalam menundukkan diri yang serakah, dan kebijakan dalam mengatur dorongan-dorongan yang tidak rasional adalah merupakan pokok-pokok penunjuk lain.
Dari utaian tersebut dapat disimpulkan bahwa Ibnu Maskawaih ketika masih muda termasuk memiliki sifat kurang terpuji, karena berbagai factor, apakah faktor keluarga atau lingkungan pemerintahnya pada saat itu. Tetapi setelah memasuki usia lanjut, ia mampu mengendalikan diri dan menjadi seorang moralis, sebagaimana tersirat dalam suatu nasihatnya di dalam bukunya Tahzib al-Akhlak: “hendaknya para peneliti buku ini mengetahui, bahwa saya sendiri, secara bertahap berusaha dan sungguh-sungguh, setelah saya dewasa (kibar), mendidik diri sendiri, menciptakan kebiasaan, dan saya memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh; wahai para pencari keutamaan dan moral yang hakiki, saya sangat ingin menunjukkan dan menasehatkan kepada anda mengenai hal yang pernah saya abaikan pada awalnya, agar anda memahaminya dan saya tunjukkan anda kepada jalan kemenangan sebelum terjerumus ke dalam kesesatan”.[6]

3)      Riwayat Pendidikan Ibnu Maskawaih
Riwayat pendidikan Ibnu Maskawaih tidak diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak menulis autobiografinya, dan para penulis riwayatnyapun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun demikian dapat diduga bahwa Maskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman ‘Abbasiyah bahwa pada umumnya anak-anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Qur’an dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (Nahwu) dan ‘Arudh (ilmu membaca dan membuat syair). Mata pelajaran-mata pelajaran dasar tersebut diberikan di surau-surau; di kalangan keluarga yang berada dimana guru didatangkan ke rumahnya untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran ilmu fiqih, hadits, sejarah (khusunya sejarah Arab, Parsi dan India) dan matematika. Kecuali itu diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti: musik, bermain catur dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran).
Di duga Maskawaih pun mengalami pendidikan semacam ini pada masa mudanya, meskipun menurut dugaan juga Maskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Perkembangan ilmu Maskawaih terutama sekali diperoleh dengan jalan banyak membaca buku, terutama di saat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-‘Amid, Menteri Rukn Al-Daulah juga akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah.
Pengetahuan Maskwaih yang amat menonjol dari hasil banyak membaca buku itu ialah sejarah, filsafat dan sastra. Hingga saat ini nama Maskawaih dikenal terutama sekali dalam keahliannya sebagai sejarahwan dan filosof. Sebagai filosof, Maskawaih memperoleh sebutanBapak Etika Islam, karena Maskawaih-lah yang mula-mula mengemukakan teori etika dan sekaligus menulis buku tentang etika.[7]

4)      Karya-karya Ibnu Maskawaih
Ibnu Maskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir (filosof), tetapi ia juga seorang penulis yang produktif. Mengenai sejak kapan ia menulis, tidak terdapat informasi yang dapat dijadikan rujukan yang pasti. Dalam buku The History of the Muslim Philosophy disebutkan beberapa karya tulisnya, yaitu:
a.      Al-Fauz Al-Akbar
b.      Al-Fauz Al-Asghar
c.       Tajarib Al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya pada tahun 369 H/979 M)
d.      Uns Al-Farid (koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah
e.       Tartib Al-Sa’adat (isinya akhlak dan politik
f.       Al-Mustaufa (isinya syair-syair pilihan)
g.      Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
h.      Al-Jami’
i.        Al-Siyab
j.        On the Simple Drugs (tentang kedokteran)
k.      On the Compisition of the Bajats (seni memasak)
l.        Kitab Al-Ashribah (tentang minuman)
m.    Tahzib Al-Akhlak (tentang akhlak)
n.      Risalat fi Al-Lazzat wa Al-Alam fi Jauhar Al-Nafs
o.      Ajwibat wa As’ilat fi Al-Nafs wa Al-‘Aql
p.      Al-Jawab fi Al-Masail Al-Salas
q.      Risalat fi Jawab fi Su’al Ali Ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql
r.        Thaharat Al-Nahs[8]
Karya tulis tersebut masih dapat ditemukan hingga sekarang, di samping juga ada kurang lebih 15 (lima belas) buah artikel dan makalah. Dan masih ada kurang lebih 19 buah karya tulis yang sekarang sudah tidak dapat ditemukan lagi.

5)      Kedudukan Ibnu Maskawaih Dalam Perkembangan Filsafat Islam
Di dalam bukunya “Tahdzib Al-Akhlak wa That-hir Al-A’raq” Maskawaih menguraikan bahwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat sebagai berikut:
a.       An-Nafs al-bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk
b.      An-Nafs as-sabu’iyah (nafsu binatang buas) yang sedang
c.       An-Nafs an-nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik
Sifat buruk dari jiwa telah mempunyai kelakuan berani, pengecut, ujub (ponggah), sombong, suka olok-olok, penipu. Sedangkan sebagai khususiyat dari jiwa yang cerdas ialah mempunyai sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar dan cinta. Kebajikan bagi suatu makhluk yang hidup dan kemauan ialah apa yang dapat mencapai tujuan dan kesempurnaan wujudnya. Segala yang wujud ini baik jika ia mempunyai persediaan yang cukup guna melaksanakan sesuatu tujuan. Tetapi setiap orang memiliki perbedaan yang pokok dalam bakat yang dipunyai.
Selanjutnya menurut Maskawaih, di antara manusia ada yang baik dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung berbuat kejahatan. Namun golongan ini adalah minoritas. Sedangkan golongan yang mayoritas adalah golongan yang dari “sono”nya sudah cenderung kepada kejahatan sehingga sulit untuk ditarik untuk cenderung kepada kebaikan. Sedangkan di antara kedua golongan tersebut ada golongan yang dapat beralih kepada perhatian atau kejahatan. Hal ini tergantung pada pendidikan dan lingkungan ia hidup.
Berbicara tentang kebaikan, Maskawaih menerangkan bahwa kebajikan ada kalanya bersifat umum dan bersifat khusus, ada kebajikan mutlak dan ada ilmu pengetahuan yang luhur di mana orang yang baik akan berusaha mencapainya. Kebaikan yang bersifat umum adalah menjadi tujuan semua orang, yaitu kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan yang bersifat khusus adalah kebaikan yang relative bergantung pad asetiap orang yang berusaha memperolehnya.
Selain hal-hal tersebut di atas, diuraikan juga tentang akhlak, perihal keadilan, perihal cinta dan persahabatan serta perihal pengobatan penyakit-penyakit jiwa. Dengan demikian maka Maskawaih telah banyak meletakkan dasar-dasar etika atau pembahasan akhlak secara teoretis. Dapat disebutkan di sini buku-buku lain dari Maskawaih yang membahas khusus tentang etika Islam di antaranya adalah: Al-Akbar, Thaharat, An-Nafs dan kitab Tartib As-Sa’dat yang membicarakan etika dan politik. Sehingga dalam perkembangan filsafat Islam, Maskawaih mendapat sebutan “Bapak Etika Islam”, karena beliaulah yang mula-mula mengemukakan teori khusus tentang etika secara lengkap.[9]

6)      Maskawaih dalam Hubungannya dengan Ilmu Pengetahuan
Walaupun pemikiran filsafatnya tidak banyak dibicarakan tetapi beliau telah mengemukakan berbagai teori filsafat yang penting, yang menjadi referensi para pemikir sesudahnya. Pandanganya mengenai manusia dan perkembangan masyarakat bukan saja menjadi pokok pemikiran para ilmuwan Islam seperti Ibnu Khaldun dan Jamaluddin Al-Rini tetapi juga para sarjana barat salah satunya Charles Darwin.[10]
Maskawaih berpendapat bahwa segala sesuatu yang wujud ini tumbuh dan berkembang melalui beberapa fase yang keseluruhannya merupakan mata rantai kehidupan. Bahwa segala fase pertama merupakan sesuatu yang sederhana, kemudian senantiasa berevolusi dan berkembang sehingga mencapai derajat yang lebih tinggi. Tumbuh-tumbuh pada mulanya, berbeda dalam tingkat vegetatif (nabati) kemudian berevolusi dan berkembang meningkat sampai pada derajat manusia. Manusia pun terus berevolusi, berkembang bukan hanya secara fisik, tapi berkembang pula tingkat kecerdasannya, cara berfikirnya bertambah maju sehingga menjadi bijaksana bahkan sampai mendekati derajat para malaikat.
Dengan ini pula Maskawaih menetapkan prinsip adanya kebenaran Nubuat (Kenabian) dan adanya kebenaran turunnya wahyu, hanya saja untuk mencapai tingkatan ini ada dua jalan:
1.      Perenungan tentang hakikat dari segala sesuatu yang wujud sehingga mempertajam pandangan, sehingga akhirnya dapat mengenal soal-soal Ketuhanan. Tingkat ini dapat didapat oleh para filosof.
2.      Manusia mungkin seklai tanpa perenungan akal pikiran tetapi dapat karunia limpahan langsung dari Tuhan berupa kebenaran (wahyu) tanpa melalui latihan akal pikiran. Tingkatan ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang terpilih, yaitu para Nabi.
Teori evolusi rohani ini berpijak pada dasar filsafatnya bahwa manusia menurut fitrahnya mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini dapat ditempuh dengan mawas diri perenungan tentang hakikat sesuatu, melaksanakan ibadah dengan baik menjaga dan membersihkan jiwa dari segala perbuatan jahat dan tercela sehingga dengan demikian jiwanya akan menjadi bersih. Jiwa yang bersih inilah yang akan sanggup menerima ilmu dan hikmah, yakni kebenaran, baik dari sebagai hasil pemikiran akal manusia maupun kebenaran wahyu.
Dengan demikian dalam dunia ilmu pengetahuan sebenarnya Maskawaih-lah yang pertama kali memperkenalkan teori evolusi jauh sebelum Charles Robert Darwin memperkenalkan karyanya yang terkenal mengenai teori evolusi yaitu: “On the Origin os Species by Means of Natural Selection” yang terbit pada tahun 1859. Bahkan teori evolusi dari Maskawaih juga sampai pada bidang rohani dalam hal mana bidang ini tidak dibicarakan oleh Darwin, karena manusia dianggap adalah puncak kesempurnaan evolusi. Sedangkan evolusi di bidang rohani kemudian dikembangkan oleh Ibnu Khaldun (1332-1406) dan Muhammad Abduh (1849-1909).[11]
Selanjutnya untuk penjelasan teori evolusi Ibnu Maskawaih akan dibahas pada pembahasan selanjutnya dalam pemikiran filsafat Ibnu Maskawaih.

7)      Pemikiran Filsafat Ibnu Maskawaih
a.      Hikmah dan Falsafah
Maskawaih membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan), wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah: Bahwa engkau mengetahui segala yang ada (Al-Maujat) sebagai adanya. Atau jika engkau mau dapat kau katakana bahwa hikmah adalah: bahwa engkau mengetahui perkara-perkara Ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) dapat membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.
Sedangkan mengenai filsafat, Maskawaih tidak memberikan pengertian secara tegas. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian; bagian teori dan bagian praktis, bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral. Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi dan perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasionalnya yang dapat membeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesame manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama.
Jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat, yang teoretis dan yang praktis tersebut, maka berarti ia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna.

b.      Metafisika
Metafisika Maskwaih mencakup pembahasan tentang bukti adanya yang praktis tersebut, jiwa dan kenabian (nubuwwah). Secara lengkap metafisika Maskawaih dituangkan dalam kitabnya Al-Fauz Al-Ashghar.[12]
1.      Ketuhanan
Tuhan, menurut Ibnu Maskwaih adalah zat yang tidak berjisim, Azali dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satu pun yang setara dengan-Nya. Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung kepada yang lain. Sementara yang lain membutuhkan-Nya. Tampaknya pemikiran Ibnu Maskawaih ini sama dengan pemikirannya Al-Farabi dan Al-Kindi.
Sebagai filosof religius sejati, Ibnu Maskawaih menyatakan, alam semesta diciptakan Allah dari tiada menjadi ada karena penciptaan dari bahan yang sudah ada tidak ada artinya. Di sinilah letak persamaan pemikirannya dengan Al-Kindi dan berbeda dari Al-Farabi (Allah menciptakan alam dari materi yang sudah ada).
Menurut De Boer, Ibnu Maskawaih menyatakan, Tuhan adalah zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas. Dikatakan yang jelas bahwa ia adalah Yang Hak (Benar). Yang benar adalah terang. Dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal pikiran kita untuk menangkap-Nya, disebabkan banyak dinding-dinding atau kendala kebendaan yang menutupi-Nya. Pendapat ini bisa diterima karena wujud manusia berbeda dengan wujud Tuhan.[13]
Dalam penjelasan lain diungkapkan: Menurut Miskawaih, membuktikan adanya Tuhan adalah mudah, karena kebenarannya tentang Tuhan telah terbukti pada dirinya sendiri dengan amat jelas. Namun kesukarannya adalah karena keterbatasan akal manusia untuk menjangkaunya. Tetapi orang yang berusaha keras untuk memperoleh bukti adanya, sabar menghadapi berbagai macam kesukaran, pasti akhirnya sampai juga, dan akan memperoleh bukti yang meyakinkan tentang kebenaran adanya.
Maskawaih mengatakan sebenarnya tentang adanya Tuhan pencipta itu telah menjadi kesepakatan filosof sejak dahulu kala. Namun pendapat Maskawaih bahwa untuk membuktikan adanya Tuhan hanya dapat dilakukan secara negative itu telah mendapat kritik.jika yang dimaksud pembuktian secara langsung tidak dapat dilakukan itu ialah untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan secara rasional memang dapat diterima. Tetapi hal itu tidak benar jika yang dimaksud adalah mencakup segala macam pengenalan. Sebab di samping pengetahuan secara rasional, dimungkinkan juga pengenalan dengan jalan penghayatan yang merupakan pengalaman kejiwaan sebagaimana bisa terjadi dalam dunia mistik.
Argumen yang diajukan oleh Maskawaih untuk membuktikan adanya Tuhan yang paling ditonjolkan adalah adanya gerak atau perubahan yang terjadi pada alam. Argumen gerak ini diambil dari Aristoteles. Tuhan adalah sebagai pencipta segala sesuatu. Menciptakan dari awal segala sesuatu: dari tiada (‘ada), sebab tidak ada artinya mencipta, jika yang diciptakan telah wujud sebelumnya. Jadi segala sesuatu itu diciptakan dari tiada, hal ini sejalan dengan pendapat ulama ilmu kalam, tanpa takwil sebagaimana dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah yang telah memperoleh pengaruh dari filsafat Aristoteles. Dari/dalam hal ini Maskawaih berbeda pendapat dengan Aristoteles.
Teori tentang perubahan yang terjadi pada alam menyebutkan bahwa tiap-tiap bentuk berubah digantikan oleh bentuk yang baru. Dalam pertukaran bentuk yang satu kepada bentuk yang lain itu. Maskawaih mengatakan bahwa bentuk yang lama menjadi tiada. Demikian pula selanjutnya, jika bentuk kedua ini digantikan dengan bentuk segitiga, maka bentuk kedua menjadi tiada dan seterusnya. Dengan demikian terjadilah ciptaan yang terus menerus, dari sartu generasi ke generasi yang lain, dan tiap-tiap ciptaan yang baru berasal dari tiada. Walaupun Maskawaih menetapkan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada, tetapi ia pun menganut teori emanasi dari neo Platonisme, namun penerapannya berbeda dengan Al-Farabi dan Ibnu Sina.[14]
2.      Emanasi
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Maskawaih juga menganut faham emanasi, yakni Allah menciptakan alam secara pancaran. Namun emanasinya berbeda (bertentangan) dengan emanasi Al-Farabi. Menurutnya entitas pertama yang memancarkan dari Allah adalah ‘Aql Fa’al (Akal Aktif) akal aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia Kadim, Sempurna, dan tak berubah. Dari akal aktif ini timbullah jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet (al-falak). Pelimpahan atau pemancaran yang terus menerus dari Allah dapat memelihara tatanan di dalam ala mini. Andaikan Allah menahan pancaran-Nya, maka akan terhenti kemaujudan dalam ala mini.
Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan perbedaan emanasi antara Ibnu Maskawaih dan Al-Farabi sebagai berikut.
a.       Bagi Ibnu Maskawaih, Allah menjadikan ala mini secara emanasi (pancaran) dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut Al-Farabi alam dijadikan Tuhan secara pancaran dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
b.      Bagi Ibnu Maskawaih ciptaan Allah yang pertama ialah Akal Aktif. Sementara itu, bagi Al-Farabi ciptaan Allah yang pertama ialah Akal Pertama dan Akal Aktif adalah Akal yang kesepuluh.
Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa dalam masalah pokok Ibnu Maskawaih sejalan dengan pemikiran Guru kedua, Al-Farabi. Akan tetapi, dalam penyelesaian masalah ini lebih cenderung kepada Al-Kindi dan teolog Muslim.[15]
3.      Jiwa (An-Nafs)
Jiwa menurut Ibnu Maskawaih adalah jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Ia adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Ia akan hidup selalu. Ia tidak dapat diraba dengan pancaindera karena ia bukan jisim dan bagian dari jisim. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan ia mengetahui ketahuan dan keaktifitasannya. Argumen yang dimajukannya ialah jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna hitam dan putih, sedangkan badan tidak dapat demikian. [16]
Ibnu Maskawaih mengatakan bahwa jiwa itu adalah suatu substansi imateri. Kemudian menguraikan substansialitas jiwa melalui penelaahan terhadap hakikat pengetahuan manusia yang imateri, dan membandingkannya dengan materi. Cirri esensial materi adalah tidak adanya kemungkinan menerima atau mempunyai dua bentuk sekaligus. Untuk mengubah sendok perak menjadi sebuah gelas perak, maka bentuk sendok sebagaimana adanya harus ditiadakan. Cirri ini adalah umum bagi semua benda, dan yang tidak mempunyai cirri ini tidak dapat dianggap sebagai sebuah benda. Sedangkan pengetahuan manusia, menurutnya memiliki prinsip dimana ia mampu mengetahui banyak macam gambaran yang bertentangan sekaligus bentuk segitiga, segiempat dan lingkaran dapat siterimanya sekligus, demikian pula gambaran konsep hitam dan putih dapat diterimanya dalam waktu yang sama. Dengan prinsip  ini jelas bahwa jiwa tidak mungkin berupa materi, karena ia tidak mempunyai ciri fundamental materi. Jadi esensi jiwa terletak pada daya mempersepsikan sejumlah obyek (yang saling bertentangan sekalipun) pada saat bersamaan.
Bahwa jiwa pada dasarnya imateri, di sampinh karena esensinya, Ibnu Maskawaih juga membuktikan hal itu melalui argumentasi-argumentasi yang lain, yaitu:
a.       Indera, setelah mempersepsi suatu rangsangan kuat, selama beberapa waktu tidak lagi mampu mempersepsi rangsangan yang lebih lemah. Namun demikian, ini berbeda benar dengan aksi mental intuisi/kognisi.
b.      Bilamana kita merenungkan suatu obyek yang muskil, kita berusaha keras untuk sepenuhnya menutup kedua belah mata kita terhadap obyek-obyek di sekitar kita. Yang kita anggap sebagai demikian banyak halangan bagi aktifitas spiritual. Jika esensia jiwa adalah materi, maka agar aktifitasnya tidak terhambat, jiwa tak perlu lari dari dunia materi.
c.       Mempersepsi rangsangan kuat akan memperlemah dan kadangkala merugikan indera. Di sisi lain, intelek berkembang menjadi kuat dengan mengetahui ide-ide dan faham-faham umum (general nation).
d.      Kelemahan fisik yang disebabkan oleh umur yang tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
e.       Jiwa dapat memahami proposisi tertentu yang tidak mempunyai pertalian dengan daya inderawai. Indera, misalnya tidak mampu memahami bahwa duh al yang bertentangan tidak dapat ada bersama.
f.       Ada sesuatu kekuatan tertentu pada diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan semua pengetahuan. Prinsip penyatuan yang merenung-renungkan materi yang dibawa di hadapannya melalui saluran inderasi, dan yang menimbang evidens (bukti) masing-masing indera inilah yang menentukan karakter keadaan-keadaan tandingan, maka dengan sendirinya jiwa itu harus berada di atas lingkungan materi.[17]
Dalam kesempatan lain Ibnu Maskawaih juga membedakan antara pengetahuan jiwa dan pengetahuan pancaindera. Secara tegas ia katakana bahwa pancaindera tidak dapat menangkap selain apa yang dapat diraba atau diindera. Sementara jiwa dapat menangkap apa yang dapat ditangkap pancaindera, yakni yang dapat diraba dan juga yang tidak dapat diraba.
Tentang balasan di akhirat, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Maskawaih juga menyatakan bahwa jiwalah yang akan menerima balasan (kebahagiaan dan kesengsaraan) di akhirat. Karena menurutnya, kelezatan jasmaniah bukanlah kelezatan yang sebenarnya.[18]
Maskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan.[19]
Ibnu maskawaih tidak membedakan antara jiwa dengan akal. Baginya antara jiwa dan akal itu satu adanya. Akal hanyalah merupakan daya dari daya-daya jiwa dan merupakan manifestasi dari adanya jiwa.
Menurut Maskawaih, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya sebagai berikut:
a.       Kekuatan untuk berfikir, memahami dan membedakan sesuatu.
b.      Kekuatan untuk marah, berlaku berani, rindu kepada kekuasaan dan sebagainya.
c.       Kekuatan yang menimbulkan syahwat, makan, minum dan kelezatan-kelezatan fisik lainnya.
Ketiga kekuatan jiwa tersebut biasa diistilahkan dengan:
a.       An-Nafsun Nathiqah (Jiwa yang berfikir/baik)
b.      An-Nafsus Sab’iyah (Jiwa yang ganas/sedang)
c.       An-Nafsul Bahimiyah (Jiwa yang bebal/buruk).[20]
Manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika memiliki jiwa yang cerdas. Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling mulia adalah yang paling besar kadar jiwa cerdasnya. Dan dalam hidupnya selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai hidupnya oleh dua macam jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka turunlah derajatnya dari derajat kemanusiaan. Mana yang lebih dominan di antara dua macam jiwa yang lain tadi, maka demikianlah kadar turun derajat kemanusiaannya. Manusia harus pandai menentukan pilihan untuk menundukkan dirinya dalam derajat mana yang seharusnya.[21]
4.      Kenabian
Dalam membicarakan hal kenabian, Maskawaih menyajikan banyak hal yang sepintas lalu tidak lazim digolongkan sebagai topik kenabian. Maskawaih membicarakan masalah tingkatan-tingkatan wujud dalam alam dan hubungannya satu sama lain. Dibicarakannya pula manusia yang merupakan mikrokosmos dibandingkan dengan alam semesta yang merupakan mikrokosmos. Dibicarakannya juga macam-macam kapasitas dan daya manusia yang mengalami perkembangan pancaindera meningkat menjadi kekuatan bersama seperti perkembangan dari tingkat yang rendah kepada tingkat yang lebih tinggi, seperti perkembangan pancaindera meningkat menjadi kekuatan bersama (common sensibility), dan dari sini berkembang lagi kepada yang lebih tinggi atas rahmat Allah. Kemudian dibicarakan pula perihal wahyu dan cara diperolehnya; juga tentang akal yang diibaratkan sebagai raja yang ditaati sesuai pembawaannya; juga tentang perbedaan antara Nabi yang diutus dan Nabi yang tidak diutus; akhirnya tentang perbedaan antara Nabi yang sungguh-sungguh dan orang yang mengaku sebagai Nabi (mutanabbi).[22]
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Maskawaih juga menginterpretasikan kenabian secara ilmiah. Usahanya ini dapat pula memperkecil perbedaan antara Nabi dan filosof dan memperkuat hubungan dan keharmonisan antara wahyu dan akal.
Menurut Ibnu Maskawaih, Nabi adalah seorang muslim yang memperoleh hakikat-hakikat atau kebenaran karena pengaruh Akal Aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat atau kebenaran seperti ini diperoleh pula oleh para filosof. Perbedaannya hanya terletak pada tekhnik memperolehnya. Filosof mendapatkan kebenaran tersebut dari bawah ke atas, yakni dari daya inderawi menaik ke daya khayal dan menaik lagi ke daya berpikir yang dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat atau kebenaran dari Akal Aktif. Sementara itu, Nabi mendapatkan kebenaran diturunkan langsung dari atas ke bawah, yakni dari Akal Aktif langsung kepada Nabi sebagai rahmat Allah. Dari itu, sumber kebenaran yang diperoleh Nabi dan filosof adalah sama, yaitu dari Akal Aktif (Akal Fa’al). pemikiran ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Al-Farabi sebelumnya.[23]
Persamaan antara Nabi dan filosof, bagi Ibnu Maskawaih adalah dalam mencapai kebenaran, bukan persamaan keduanya dalam tingkatan kemuliaan dan kemaksuman.[24]
5.      Teori Evolusi
Maskawaih berpendapat bahwa segala yang ada di atas mengalami proses evolusi, dilaluinya rentetan proses kejadian yang mata rantainya tidak terputus. Dikatakannya bahwa segala sesuatu di alam ini bermula dari wujud yang sederhana. Kemudian mengalami evolusi menjadi benda-benda yang lebih tinggi. Bermula dari jamad (benda mati), kemudian berkembang menjadi tumbuh-tumbuhan, yang dalam evolusi berikutnya mengalami perkembangan menjadi hewan, dari tahapan hewan berevolusi menjadi manusia yang dipandang sebagai puncak perkembangan. Manusia pun pada gilirannya mengalami evolusi juga, yaitu terus berkembang dan meningkat kecerdasannya. Cara berfikirnya makin berkembang ke tingkat kebijaksanaan dalam mengambil keputusan-keputusan, hingga mendekati tingkat malaikat. Manusia akan dapat mengalami evolusi sampai mendekati tingkat malaikat dengan jalan keutamaan-keutamaan teoritis, melalui jalan, hingga menjadi orang yang bijaksana (hakim). Ada juga diantara orang-orang yang lebih meningkat lagi dari tingkatan ini dan benar-benar dapat berhubungan dengan para malaikat, yaitu para Nabi yang menjadi perantara hubungan antara alam Ketuhanan dengan alam dunia.
Maskawaih mengemukakan betapa tinggi kedudukan para Nabi disbanding dengan manusia lainnya, dengan jalan terlebih dahulu mengungkapkan proses evolusi. Jadi bukan evolusi sebagai suatu teori sebagaimana yang berkambang dalam dunia ilmu pengetahuan modern, melainkan sebagai jembatan untuk dapat memahami kemungkinan adanya berbagai macam tingkat wujud di dalam ini, dengan menyebutkan manusia sebagai yang paling tinggi martabatnya disbanding dengan martabat wujud-wujud lain. Sebagai yang bermartabat paling tinggi, manusia supaya berusaha meningkatkan nartabat hidupnya dengan jalan berfikir manusia hendaknya berusaha untuk sampai pada tingkat setinggi mungkin. Yang memang berbakat, hendaknya berusaha untuk sampai pada tingkat bijaksana (hikmah), hingga berhak disebut hakim. Dari segi lain, Maskawaih menetapkan adanya tipe manusia yang memang sanggup sampai ke tingkat kemanusiaan yang paling tinggi, yang memperoleh kebenaran-kebenaran yang hakiki yang dengan jalan berfikir, tetapi dengan jalan wahyu, yaitu para Nabi Nabi tingkatannya lebih tinggi dari filosof. Kebenaran-kebanaran yang dibawa oleh para Nabi lebih meyakinkan daripada kebenaran-kebenaran yang diperoleh para filosof, karena para Nabi memperoleh kebenaran langsung dari Tuhan, sedangkan para filosof memperolehnya lewat pemikiran. Hal senada telah diungkapkan oleh filosof Muslim perintis, yaitu Al-Kindi.[25]



c.   Dasar-dasar Etika
Ibnu Maskawaih seorang moralis yang terkenal. Hampir setiap pembahasan akhlak dalam Islam, filsafatnya ini selalu mendapat perhatian utama. Keistimewaan yang menarik dalam tulisannya adalah pembahasan yang didasarkan pada ajaran Islam (al-Qur’an dan Hadits) dan dikombinasikan dengan pemikiran yang lain sebagai pelengkap, seperti flsafat Yunani Kuno dan pemikiran Persia. Dimaksud dengan pelengkap ialah sumber lain baru diambilnya apabila sejalan dengan agama Islam dan sebaliknya ia tolak, jika ia tidak demikian.[26]
Mengenai teori etika Ibnu Maskwaih, dalam kesempatan ini akan disajikan dasar-dasarnya saja.
1        Unsur-unsur Etika Maskawaih
Dalam filsafat akhlak, Ibnu Maskawaih banyak dipengaruhi oleh Plato, Aristoteles, Jalinus dan ajaran Islam. Namun demikian pengaruh Aristoteles lebih dominan.
2.      Pengertian Akhlak
Kata akhlak adalah bentuk jamak dari (plural) dari kata khuluq, Maskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai berikut.
            “Khuluq adalah : peri keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan  perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan. Dengan kata lain, khuluq adalah mendorong timbulnya perbuatanp-perbuatan secara spontan. Peri keadaan jiwa itu dapat merupakan fitrah sejak kecil, dan dapat pula merupakan hasil latihan membiasakan diri.
            Berkenaan dengan pengertian khuluq yang dikemukakan Maskawaih tersebut, dapat kita peroleh kesimpulan bahwa peri keadaan jiwa yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan secara spontan itu dapat selamanya merupakan pembawaan fitrah sejak lahir, tetapi dapat diperoleh dengan latihan-latihan membiasakan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan yang baik. Dengan kata lin, manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawaan fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Manusia dapat mempunyai khuluq yang bermacam-macam baik secara cepat maupun lambat.. hal ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya.[27]
Ibnu Maskawaih memberikan definisi tentang akhlak begini “Suatu sikap mental yang mendorongnya untuk berbuat tanpa piker dan pertimbangan”. Sikap jiwa tersebut terbagi menjadi dua; yang berasal dari naluri dan yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Akhlak yang berasal dari naluri bisa diarahkan melalui pembiasaan. Oleh karena itu Ibnu Maskawaih membantah pendapat yang mengatakan, bahwa akhlak itu tidak dapat diubah. Baginya tujuan agama ialah untuk mengarahkan akhal manusia kearah akhlak yang utama.[28]
Berdasarkan ide di atas, secara tidak langsung Ibnu Maskawaih menolak pandangan orang-orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia itu tidak dapat dirubah. Bagi Ibnu Maskwaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan (Tarbiyah al-Akhlak) dan latihan-latihan. Pemikiran seperti ini jelas sejalan dengan ajaran Islam karena kandungan ajaran Islam secara eksplisit telah mengisyaratkan kea rah ini dan pada hakikatnya syariat agama bertujuan untuk mengokohkan dan memperbaiki akhlak manusia. Kebenaran ini jelas tidak dapat dibantah, sedangkan akhlak atau sifat binatang saja bisa berubah dari liar menjadi jinak, apalagi akhlak manusia.[29]
Tentang masalah baik dan buruk, Ibnu Maskawaih mengatakan, bahwa kebaikan itu ada dalam obyek, namun kebaikan yang dalam obyek itu dipandang oleh manusia dengan kacamata yang berbeda-beda (bersifat relatif). Jadi, karena perlainan alat dan cara memandang kebaikan tersebut, maka kebaikan itu menjadi banyak sebanyak cara orang memandangnya.
Di antara pendapat itu ada yang mengatakan, bahwa kebaikan itu terbagi menjadi tiga macam, yaitu: sesuatu yang mulia, sesuatu yang terpuji, dan sesuatu yang bermanfaat. Sesuatu yang mulia itu dimuliakan oleh zatnya, justru itu orang yang memangkunya akan mulia pula, karena zat kemuliaan melekat pada dirinya. Sesuatu yang terpuji dianggap baik karena ia muncul dari yang baik. Demikian juga sesuatu yang memberi manfaat duanggap baik karena ia menyampaikan kepada kebaikan. Demikian salah satu sudut pandangan tentang kebaikan.
3.      Keutamaan (Fadhilah)
Maskawaih menyebutkan ada tiga macam kekuatan jiwa, yitu Bathiniyah atau Syahwiyah Kebinatanga atau nafsu syahwat), sabu’iyah (binatang buas), dan nathiqah yang berfikir tentang hakikat segala sesuatu.
Atas dasar adanya tiga macam kekuatan jiwa manusia itu dapat disebutkan adanya tiga macam kekuatan cabang yang berpokok pada keutamaan-keutamaan dasar itu. Keselarasan antara tiga keutamaan dasar itu menimbulkan keutamaan lain, yang merupakan kesempurnaan ketiga keutamaan dasar tersebut.
Dengan demikian keutamaan-keutamaan jiwa itu ada empat macam, yaitu hikmah (wisdom), ‘iffah (kesucian), syaja’ah (keberanian), dan ‘adalah (keadilan). Kebijaksanaan adalah keutamaan lahir jika manusia dapat menyalurkan syahwatnya sejalan dengan pertimbangan akal yang sehat, hingga ia bebas dari perbudakan syahwatnya. Keberanian adalah keutamaan jiwa ghadhabiyah (subu’iyah); keutamaan ini timbul jika manusia dapat menundukkannya kepada jiwa nathiqah dan menggunakannya sesuai dengan tuntutan akal sehat dalam menghadapi perkara-perkara yang besar, hingga tidak akan dihinggapi rasa takut terhadap perkara-perkara yang menggetarkan, jika melakukannya memang baik dan jika tabah terhadapnya memang terpuji. Keadilan adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari kumpulan tiga macam keutamaan tersebut di atas disaat terjadi keselarasan antara keutamaan-keutamaan itu dan tunduk kepada kekuatan sehat, hingga masing-masing kekuatan itu tidak menuntut kepuasan sejalan dengan wataknya dan dengan demikian orang akan dapat bersikap adil terhadap dirinya sendiri, juga terhadap orang lain.[30]
4.      Kebahagiaan
Maskawaih membedakan antara al-Khair (kebaikan) dan al-‘adah (kebahagiaan). Kebaikan menjadi tujuan semua orang; kebaikan umum bagi seluruh manusia dalam kedudukan sebagai manusia. Sedang kebahagiaan adalah kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum, tetapi relatif bergantung kepada orang per orang. Dengan demikian, kebaikan mempunyai identitas tertentu, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda bergantung kepada orang-orang yang berusaha memperolehnya.[31]
Dalam buku tahzib al-akhlak Ibnu Maskawaih juga memaparkan kebahagiaan. Menurutnya, kebahagiaan meliputi jasmani dan rohani. Pendapatnya ini merupakan gabungan antara pendapat Plato dan Aristoteles. Menurut Plato kebahagiaan yang sebenarnya adalah kebahagiaan rohani. Hal ini baru bisa diperoleh manusia apabila rohaninya telah berpisah dengan jasadnya. Dengan redaksi lain, selama rohaninya masih terikat kepada jasadnya, yang selalu menghalanginya mencari hikmah, kebahagiaan dimaksud tidak akan tercapai. Sebaliknya, Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan dapat dicapai dalam kehidupan di dunia ini, namun kebahagiaan tersebut berbeda di antara manusia, seperti orang miskin kebahagiaannya adalah kekayaan, orang sakit pada sehat, dan lainnya.
Uraian di atas dapat dijadikan bukti bahwa pemikiran Ibnu Maskawaih dasar pokoknya adalah ajaran Islam. Sementara gabungan pendapat Plato dan Aristoteles merupakan pemikiran pelengkap yang ia terima Karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Berbeda dengan Al-Ghazali, Ibnu Maskawaih menolak segala bentuk kehidupan al-mutawahhid (pertapaan). Hal ini disebabkan kehidupan seperti itu tidak cocok dengan hukum agama, yang pada dasarnya merupakan mazhab akhlak yang mendorong manusia untuk mencintai sesamanya. Kewajiban yang dibebankan agama adalah latihan akhlak bagi jiwa manusia yang bertujuan untuk syiar keagamaan, seperti shalat jamaah, haji dan lain-lainnya, yang tidak lain adalah untuk menanamkan sifat keutamaan pada jiwa manusia. Pada sisi lain, kehidupan pertapaan dapat dinilai mengandung kadar kezaliman karena kebutuhan hidupnya dibebankan pada orang lain, padahal dalam kehidupan ini manusia harus saling membantu dalam segala aspek untuk mencapai kemajuan, baik yang bersifat sosial  maupun kebudayaan.[32]
5.      Cinta (Mahabbah)
            Maskawaih memberikan perhatian khusus kepada cinta sebagai salah satu unsure etika. Cinta menurutnya ada dua macam, cinta kepada Allah dan cinta kepada manusia.terutama cinta seorang murid kepada gurunya. Cinta yang tinggi nilainy adalah cinta kepada Allah, tetapi cinta tipe ini hanya dapat dicapain oleh sedikit orang. Cinta kepada sesame manusia ada kesamaan antara cinta anak kepada orangtua dan cint  kepada guru, tetapi cinta murid kepada guru dipandang lebih mulia dan lebih berperanan. Guru adalah bapak rohani bagi murid-muridnya. Gurulah yang mendidik murid-muridnya untuk dapat memiliki keutamaan yang sempurna. Kemuliaan guru terhadap muridnya ibarat kemuliaan rohani terhadap jasmani.
6.      Pendidikan Akhlak pada Anak
            Maskawaih juga menaruh perhatian besar terhadap pendidikan akhlak pada anak-anak. Ia mengatakan bahwa kejiwaan anak-anak adalah mata rantai antara jiwa binatang dan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak-anak berakhirlah untuk binatang dan mulailah untuk manusia. Jiwa anak-anak berkembang dari tingkat sederhana kepada tingkat yang lebih tinggi, semula tanpa ukuran. Kemudian berkembanglah padanya kekuatan perasaan nikmat dan sakit, kemudian timbul pula kekuatan yang lebih kuat, yaitu kekuatan syahwat, yang sering disebut dengan nafsu kebinatangan (bahimiyah). Dalam perkembangan berikutnya timbul pula kekuatan subu’iyah atau ghadhabiyah. Akhirnya dalam perkembangan berikutnya lahir pula kekuatan berfikir, atau jiwa cerdas yang ditandai dengan timbulny rasa malu pada anak-anak. Pada tahapan ini pada tahapan ini, anak-anak dapat merasakan mana yang baik dan mana yang buruk. Pada saat inilah paling tepat pendidikan keutamaan mulai ditanamkan pada anak-anak.
            Keutamaan-keutamaan dalam pergaulan sesama anak-anak yang harus ditanamkan ialah kejujuran, agar tidak mempunyai kebiasaan berdusta, tidak mempunyai permintaan yang berlebihan, pemurah, suka mengalahkan diri sendiri untuk mengutamakan kepentingan orang lain yang lebih mendesak dan yang terakhir adalah hendaknya ditanamkan rasa wajib taat, yang diharapkan melahirkan rasa wajib hormat kepada orang lain, terutama kepada kedua orangtua dan para gurunya. Menanamkan rasa wajib taat seperti itu akan berpengaruh menahan diri, menjauhkan diri dari kenikmatan-kenikmatan hidup yang buruk, suka mendengarkan nasihat, rajin belajar dan menghormati ajaran syariat yang dititahkan Allah.[33]

d.      Perihal Kematian
Dalam membicarakan berbagai penyakit jiwa Maskawaih menyinggung masalah takut mati yang banyak dialami orang pula umumnya. Takut mati tidak dapat dibenarkan, sebab bertentangan dengan nilai keutamaan.
Takut mati yang merupakan penyakit jiwa ini dapat terjadi karena adanya sebab-sebab sebagai berikut:
1.      tidak mengetahui hakikat kematian
2.      tidak mengetahui kesudahan jiwa
3.      tidak mengetahui kekekalan jiwa
4.      mempunyai sangkaan bahwa kematian itu merupakan sakit yang amat berat, melebihi pedihnya sakit yang mendahuluinya
5.      adanya kebingungan, karena tidak tahu apa yang akan dialaminya setelah mati
6.      karena adanya rasa berat untuk bercerai dengan yang disenanginya, yaitu keluarga, anak, harta benda dan kenikmatan-kenikmatan duniawi lainnya.
Agar orang jangan sampai takut mati, sebab-sebab takut mati tersebut harus diatasi dengan rasa sebagai berikut.
1.      orang harus mengetahui bahwa mati itu hakikatnya tidak lebih daripada jiwa yang mengentikan penggunaan alatnya, yaitu anggota-anggota yang secara keseluruhan disebut badan.
2.      orang harus mengetahui bahwa sebenarnya mati itu ada dua macam, mati iradi dan mati alami. Mati iradi adalah mematikan keinginan-keinginan (syahwat) dan meninggalkan usaha memenuhi tuntutan-tuntutannya sedang mati alami adalah terpisahnya jiwa dari badan.
3.      orang harus mengetahui benar bahwa mati hanyalah peristiwa badaniah yang menjadi pelepasan jiwa dan penghormatan bagi jiwa.
4.      orang harus menyadari bahwa rasa sakit itu hanya berada pada orang hidup dan orang hidup itulah yang menerima bekas jiwa yang ada pada badannya.
5.      orang yang merasa takut mati karena takut akan tertimpa hukuman setelah mati harus menyadari bahwa yang ditakuti itu sebenarnya bukan matinya tetapi siksanya yang mungkin diderita setelah mati.
6.      pengalaman manusia setelah mati patut ditakuti
7.      orang tidak boleh kuatir akan berpisah dengan keluarganya, anak dan harta benda, sebab semua tidak akan kekal. Pada suatu ketika pasti ditinggalkan juga.
Maskawaih ketika membicarakan perihal kematian, sama sekali tidak menampakkan tekanannya pada syariat Islam, tetapi murni dari fikiran filsafatnya. Hal ini mencerminkan betapa besar pengaruh filsafat Yunani kepadanya.[34]

e.       Filsafat politik
Maskawaih menegaskan bahwa yang menjaga tegaknya Syariat Islam adalah Imam yang kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Orang-orang dulu tidak disebut raja, kecuali orang-orang yang menjaga keselamatan agama dan mengusahakan terlaksanakannyaperintah-perintah agama dan menjaga agar larangan-larangannya jangan sampai dilanggar.
Oleh Karena itu Maskawaih berpendapat bahwa antara agama dan Negara tidak dapat dipisahkan. Dikutipnya pendapat Azdsher, raja dan filosof  angsa Persia, yang mengatakan bahwa agama dan kerajaan ibarat dua saudara kembar atau dua sisi dari mata uang yang sama (two side or the same coin), yang satu tidak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama merupakan landasan dasar, kerajaan adalah pengawalnya. Segala sesuatu tanpa landasan dasar mudah hancur, dan segala sesuatu tanpa pengawal akan sia-sia. Menurutnya raja yang berkuasa guna menjaga tegaknya agama, dan harus selalu waspada menjaga posisinya, melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh, tidak lengah, tidak mengejar kenikmatan pribadi, tidak mengejar kehormatan, dan kesenangan melainkan dengan jalan yang sah menurut agama.
Maskawaih memperingatkan juga adanya raja-raja yang disebutkan oleh Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam pidato penobatannya sebagai khalifah: Manusia yang paling sengsara di dunia dan akhirat adalah raja-raja. Yang dimaksud adalah raja yang setelah berkuasa amat saying membelanjakan harta yang dimiliki, tetapi amat tamak (rakus) terhadap harta orang lain. Umur yang ditentukan baginya berkurang separuhnya, dan hatinya selalu diliputi rasa ketakutan. Raja yang demikian itu selalu mengharapkan hilangnya kenikmatan pada orang fakir miskin dan menunjukkan rasa tidak senang kepada orang kaya, dan merasa bosan terhadap kemakmuran bersama. Raja yang demikian itu ibarat mata uang palsu dan fatamorgana yang menipu, lahirnya tampak pemberani tetapi batinnya pengecut. Raja demikian itu jika telah meninggal akan diperhitungkan segala kesalahannya dengan keras dan tidak akan dimaafkan. Ingatlah sesungguhnya raja-raja seperti itulah yang pantas dikasihi.[35]

BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Nama lengakpnya adalah Abu Ali Al-Khozim Ahmad ibn Muhammad bin Ya’kub bin Miskawaih, atau ada yang menyebut Ibnu Maskawaih atau Miskawaih saja.[36] Nama itu diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan Nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar lain juga  sering disebutkan, yaitu Al-Khazim, yang berarti bendaharawan, disebabkan pada masa kekuasaan Adhud Al-Daulah dari Bani Buwaih ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.
Riwayat pendidikan Ibnu Maskawaih tidak diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak menulis autobiografinya, dan para penulis riwayatnyapun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun demikian dapat diduga bahwa Maskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman ‘Abbasiyah bahwa pada umumnya anak-anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Qur’an dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (Nahwu) dan ‘Arudh (ilmu membaca dan membuat syair). Mata pelajaran-mata pelajaran dasar tersebut diberikan di surau-surau; di kalangan keluarga yang berada dimana guru didatangkan ke rumahnya untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran ilmu fiqih, hadits, sejarah (khusunya sejarah Arab, Parsi dan India) dan matematika. Kecuali itu diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti: musik, bermain catur dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran).
Pengetahuan Maskwaih yang amat menonjol dari hasil banyak membaca buku itu ialah sejarah, filsafat dan sastra. Hingga saat ini nama Maskawaih dikenal terutama sekali dalam keahliannya sebagai sejarahwan dan filosof. Sebagai filosof, Maskawaih memperoleh sebutanBapak Etika Islam, karena Maskawaih-lah yang mula-mula mengemukakan teori etika dan sekaligus menulis buku tentang etika.

2.      Saran
Dalam penulisan makalah ini tentunya masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan baik itu dari penulisan redaksi ataupun dari referensi yang masih kurang. Menyadari kekurangan dan kelemahan kami, kami berharap saran dari pembaca makalah ini untuk memberikan masukan-masukan yang nantinya akan menjadi motivasi kami untuk selalu belajar. Kurang lebihnya kami sampaikan terimakasih dan mohon maaf yang sebesar-besarnya… 
DAFTAR PUSTAKA

Yunasril Ali. Perkembangan Pemikiran Falsafah Dalam Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal 54-55
Sirajudin Har. Filsafat Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), hal
A. Mustofa. Filsafat Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2004) hal 178
Sudarsono. Filsafat Islam. (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2004) hal, 91
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/71
http://islamhadhari.net/?p=2583
http://promote5.blogspirit.com/archive/2006/05/18/ibn-maskawaih.html



[1] Sudarsono. Filsafat Islam. (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2004) hal, 88
[2] A. Mustofa. Filsafat Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2004) hal, 166
[3] Ibid, hal 166
[4] http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/71
[5] A. Mustofa. Filsafat Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2004) hal, 166-167
[6] http://islamhadhari.net/?p=2583
[7] Ibid, hal 168
[8] Sirajudin Har. Filsafat Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), hal 128-129
[9] Sudarsono. Filsafat Islam. (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2004) hal, 89-90
[10] http://promote5.blogspirit.com/archive/2006/05/18/ibn-maskawaih.html
[11] Sudarsono. Filsafat Islam. (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2004) hal, 89-90
[12] A. Mustofa. Filsafat Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2004) hal, 169-170
[13] Sirajudin Har. Filsafat Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), hal 128-129
[14] Sudarsono. Filsafat Islam. (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2004) hal, 91
[15] Sirajudin Har. Filsafat Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), hal 131
[16] Ibid, hal 133
[18] Sirajudin Har. Filsafat Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), hal 134
[19] A. Mustofa. Filsafat Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2004) hal, 173
[20] Yunasril Ali. Perkembangan Pemikiran Falsafah Dalam Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal 58
[21] A. Mustofa. Filsafat Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2004) hal 173-174
[22]Ibid, hal 174
[23] Sirajudin Har. Filsafat Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), hal 132
[24] Ibid, hal 175
[25] A. Mustofa. Filsafat Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2004) hal 175
[26] Sirajudin Har. Filsafat Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), hal 134-135
[27] A. Mustofa. Filsafat Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2004) hal 177
[28] Yunasril Ali. Perkembangan Pemikiran Falsafah Dalam Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal 54-55
[29] Sirajudin Har. Filsafat Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), hal 135-136
[30] A. Mustofa. Filsafat Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2004) hal 178
[31] Ibid, hal 179
[32] Sirajudin Har. Filsafat Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), hal
[33] A. Mustofa. Filsafat Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2004) hal 178
[34] Ibid, hal 182-185
[35] Ibid, hal 186-187
[36] Sudarsono. Filsafat Islam. (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2004) hal, 88

0 komentar:

Posting Komentar