Abu Hayyan Tauhidi, dalam kitab al-Imta' wa al-Muânasah, berkata, "Filsafat dan syariat senantiasa bersama, sebagaimana syariat dan filsafat terus sejalan, sesuai, dan harmonis"[1] Ahmad bin Sahl Balkhi yang dipanggil Abu Yazid, dilahirkan pada tahun 236 Hijriah di desa Syamistiyan. Ketika baligh ia berangkat ke Baghdad dan mendalami filsafat dan ilmu kalam (teologi).
Di samping ia berusaha memadukan syariat dan filsafat, ia juga meneliti agama-agama berbeda, lalu ditulis dalam kitabnya yang dinamai Syarayi’ al-Adyan dan beberapa kitab lainnya. Abul Hasan ‘Amiri, salah seorang murid Abu Yazid Balkhi, adalah seorang filosof terkenal yang juga berupaya membangun keharmonisan antara agama dan filsafat. Ia memandang bahwa filsafat itu lahir dari argumentasi akal-pikiran dan dalam hal ini, akal mustahil melanggar perintah-perintah Tuhan. Abdul Hasan ‘Amiri, dalam pasal kelima kitab al-Amad ‘ala al-Abad, menyatakan, “akal mempunyai kapabilitas mengatur segala sesuatu yang berada dalam cakupannya, tetapi perlu diperhatikan bahwa kemampuan akal ini tidak lain adalah pemberian dan kodrat Tuhan. Sebagaimana hukum alam meliputi dan mengatur alam ini, akal juga mencakup alam jiwa dan berwenang mengarahkannya. Tuhan merupakan sumber kebenaran yang meliputi secara kodrat segala sesuatu. Cakupan kodrat adalah satu cakupan di mana Tuhan memberikan kepada suatu makhluk apa-apa yang layak untuknya. Dengan ini, dapat disimpulkan bahwa alam natural secara esensial berada dalam ruang lingkup hukum materi dan hukum materi juga secara substansial mengikuti jiwa, dan jiwa berada di bawah urusan akal yang membawa pesan-pesan Tuhan.
‘Amiri memandang bahwa akal secara esensial mengikuti dan taat kepada perintah-perintah Tuhan. Di bagian lain dari kitab itu, akal dikategorikan sebagai hujjah dan dalil Tuhan, ia menyatakan bahwa derajat akal apabila dibandingkan dengan jiwa sama seperti daya penglihatan apabila dihubungkan dengan mata. ‘Amiri, dalam kitab as-Sa’adah wa al-Isad, juga menyinggung hubungan akal, jiwa dan alam materi.
Ia berkata, “jiwa mengambil manfaat dari akal dan menyalurkan manfaat kea lam materi. Akal adalah kemuliaan dan kehormatan jiwa dan jiwa adalah pelayan akal. Ketika jiwa melayani akal maka pada jiwa akan nampak kesucian dan cahaya, dan ketika ia meninggalkan akal maka akan nampak kegelapan dan kekotoran. Dengan demikian, kebodohan akan muncul dan berefek pada kehancuran dan kemaksiatan.
‘Amiri beranggapan bahwa jiwa yang berakal mempunyai kelayakan untuk menjadi khalifah Tuhan. Menurut, seseorang yang memiliki jiwa yang dicahayai oleh akal layak menjadi khalifah Tuhan yang mengatur, mengolah dan membangun alam ini, dan di alam non materi menempati kedudukan yang mulia dan tinggi. Jiwa ini, dari sisi badan berhubungan dengan alam rendah (materi) dan dari dimensi akal berkaitan dengan alam tinggi. Dengan ibarat lain, khalifah Tuhan adalah substansi wujudnya memiliki kedudukan rohani dan spiritual tertinggi dan juga berhubungan dengan derajat jasmani terendah, maujud ini tidak lain merupakan sesuatu yang menghubungkan dan menggabungkan dua alam.
Dari perspektif di atas, ‘Amiri menafsirkan makna kenabian dan menyimbolkannya dengan sebuah garis. Garis ini, pada satu sisi terhubung kea lam rohani dan pada sisi lain memanjang kea lam materi. Dengan begitu wahyu dapat didefinisikan menjadi sebuah realitas makna yang turun dari alam ghaib kea lam materi. Menurut ‘Amiri walupun jiwa di awal perwujudannya tak lepas dari pengaruh materi dan indera-indera lahiriah, tapi jiwa tidak pernah terputus dari cahaya akal, karena akal merupakan esensi jiwa. Perlu diperhatikan meskipun jiwa senantiasa mengambil manfaat dari cahaya akal, tapi tanpa cahaya agama mustahil mencapai alam spiritual tertinggi. ‘Amiri dalam menjelaskan hal itu mengambil sebuah pemisalan: dalam perkembang-biakan sepsis tumbuhan di alam, semua tingkatan kesempurnaan satu sepsis tumbuhan secara potensial terdapat dalam wujudnya, tapi untuk mewujudkan daun-daunnya, bunga-bunganya dan buah-buahnya mesti membutuhkan seorang untuk mengaktualkan seluruh potensi yang dimilikinya niscaya memerlukan agama dan filsafat.
Dengan memperhatikan apa yang telah diuraikan di atas, bias dikatakan bahwa filosof tersebut sepakat dengan gagasan kebaikandan keburukan akal, dan hal ini juga diterima oleh aliran Mu’tazilah. Dari pikiran-pikiran Mu’tazilah diketahui bahwa mereka ini berpijak pada konsep “syariat akal”. Mereka mendefinisikan “syariat akal” sebagai berikut, “salah satu syariat akal adalah bahwa manusia tidak menyukai apa yang terjadi pada seseoarang sebagaimana dia juga tidak mencintai hal tersebut terjadi pada dirinya, dan manusia mencintai apa yang berlaku padanya sebagaimana dia juga menyenangi hal itu berlaku pada orang lain. Perbuatan yang dia kerjakan secara tersembunyi dengan senang hati juga dilakukan secara terbuka”. Apa-apa yang dipandang akal sebagai kebaikan keburukan digolongkan sebagai hal yang wajib dihindari dan tidak dikerjakan.
Mereka yang berpijak pada “syariat akal” memandang bahwa hokum-hukum dan undang-undang yang diturunkan untuk manusia yang bersumber dari Nabi dan Rasul mustahil bertentangan dengan “syariat akal”. Abdul Hasan ‘Amiri, dalam kitab al-Itmam lifadhail al-anam, membahas hubungan antara teori (ilmu) dan amal, disitu ia menekankan pentingnya ilmu bagi amal. Di tempat lain ia katakana bahwa wahyu, ilham, lintasan ide, dan pikiran merupakan bentuk ibadah akal (an-nusuk al aql). An-nusuk berarti ibadah, kesucian, dan kedekatan kepada Tuhan, menurut ‘Amiri hokum-hukum Ilahi adalah rasional dan apa yang rasional dapat menyebabkan kesucian dan kedekatan kepada Tuhan. Ibnu Sina, dalam salah satu karyanya juga mengungkapkan bahwa tafakkur, berfikir dan kentemplasi juga merupakan salah satu bentuk ibadah dan do’a. menurut Ibnu Sina, tafakkur dalam kerangka teoritis dan praktis (terapan) pada hakikatnya adalah bahwa manusia berakal mengulurkan tangannya kepada realitas mutlak yang maha sempurna untuk memohon agar hakikat, rahasia dan ilmu atas segala sesuatu tersingkap baginga.
Musa bin Maimun, seorang filosof Yahudi, karena terpengaruh filsafat Islam beranggapan bahwa tafakkur dan kontemplasi sebagai salah satu bentuk ibadah yang dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan, karena itu ia berupaya merujukkan akal dan agama. Ia, dalam kitabnya Dilalah al-hairin, berkata, “tafakkur dan berfikir merupakan jalan kesempurnaan manusia. Ilmu dan ma’rifat adalah salah satu bentuk ibadah yang sesungguhnya dapat mengantarkan seorang hamba dekat dengan Tuhan, ma’rifat dapat menyingkap hakikat dan rahasia eksistensi. Semakin tinggi dan sempurna pengetahuan manusia maka semakin ia dekat kepada Tuhan dan semakin dalam kecintaannya kepada-Nya”. Walaupun menurutnya ibadah merupakan hasil dari kecintaan, tetapi kecintaan seseorang kepada Tuhan berbanding lurus dengan ilmu dan ma’rifatnya.
Abu Nashir Farabi, pendiri maktab filsafat Islam, filosof yang juga berupaya menggabungkan antara agama dan filsafat. Filosof ini, setelah mengkaji secara mendalam persoalan “kebahagiaan” pada akhirnya berpendapat tentang bentuk tasawuf (pensucian diri) yang berpijak pada rasionalitas. Tasawuf Farabi merupakan tasawuf yang tidak hanya menekankan pada niat tulus, disiplin, dan motivasi yang kuat dalam sair suluk (perjalanan spiritual) serta bersungguh-sungguh dalam meninggalkan kelezatan-kelezatan jasmani dan duniawi, tetapi juga menitikberatkan pada dimensi teoritis yang berpijak pada pemikiran yang mendalam. Menurut Farabi, kesempurnaan pensucian jiwa bukan hanya bergantung pada ibadah-ibadah ritual, tetapi juga dipengaruhi oleh tafakkur, rasionalitas dan pemikiran. Tak bias disangkal bahwa ibadah-ibadah jasmani juga berpengaruh dalam pencapaian kesempurnaan, tetapi kesempurnaan yang diraih bersama dengan akal-pikiran dan rasionalitas memiliki keunggulan yang lebih. Semakin sempurna akal-pikiran dan ma’rifat manusia, maka semakin dekat ia kepada alam transenden dan alam akal, dan ketika sampai dipuncak tertinggi kebahagiaan dan kesempurnaa ma’rifat Ilahi.
Dalam sejarah filsafat Islam, Syaikh Syihabuddin Suhrawardi adalah termasuk salah satu seorang filosof yang menentang pemisahan ajaran suci agama dan pemikiran filsafat,
Ia beranggapan bahwa keduanya terdapat kesatuan hakikat. Ia kemudian membangun sendiri system filsafatnya berpijak pada asumsi adanya kesatuan tersebut. Menurutnya, perbedaan yang ada di antara agama-agama dan aliran-aliran pemikiran dipengaruhi oleh banyak factor dans alah satu factor utamanya adalah perbedaan dalam istilah.
Hakikat matahari yang bercahaya itu adalah satu dan ia tidak menjadi banyak dengan beragamnya manifestasi-manifestasinya. Kota hanyalah satu tapi pintu-pintunya sangatlah banyak dan jalan-jalan menuju ke kota itu tak terbilang banyaknya. Dari kumpulan karya-karya Syaikh Isyraq dapat dipahami bahwa Hikmah Isyraqi dijabarkan dengan bahasa kinayah, dan filsafat dapat dipahami oleh sebagian manusia yang memiliki kemampuan yang cukup itu. Untuk mengetahui bahasa kinayah diperlukan kemampuan istimewa yang hanya dapat dicapai dengan riyadhah (disiplin spiritual), muraqabah (penjagaan diri dari segala kemaksiatan), tafakkur mengenai hakikat jiwa dan alam. Syaikh Isyraq menyatakan bahwa sebagaimana penciptaan dan perwujudan segala sesuatu hanya dilakukan oleh Tuhan. Maka Dia pulalah yang memberikan hidayah kepada semua makhluk-Nya.
Di zaman ketika Syaikh Isyraq meletakkan pondasi filsafat Isyraqiyah (Iluminasi)-nya di dunia timur Islam di mana menekankan pada kesatuan hakikat, juga Abdul Walid bin Rusyd di dunia Barat Islam lantang menyuarakan keharmonisan hikmah (baca:filsafat) dan syariat (baca:agama). Ibnu Rusyd, dalam kitabnya Fashl al-maqal fi ma baina asy-Syariah wa al-Hikmah, menjabarkan dan mengkaji aspek-aspek syariat. Ia di awal kitab Manahij al-Adillah fi Aqaid al-Millah juga memaparkan masalah tersebut dan berkata, “Syariat terbagi dalam dua bagian, yakni lahir dan bathin, dan bathin syariat dikhususkan untuk para ulama, sementara mayoritas yang awam hanya diperintahkan untuk mengamalkan lahiriah syariat dan menghindari berbagai bentuk takwil. Bagi kaum ulama juga tidak dibenarkan mengungkapkan dan menyampaikan hakikat-hakikat yang diperoleh dari jalur penakwilan kepada masyarakat awam”. Ibnu Rusyd dalam tulisannya berpijak pada perkataan Imam Ali as yang bersabda, “Bebicaralah kepada masyarakat sehingga mereka dapat memahami, apabila kandungan pemicaraan lebih tinggi dari pada kadar pemahaman masyarakat, naka dikhawatirkan mereka akan menolak perkataan Tuhan dan para Nabi-Nya”. Ibnu Rusyd yakin bahwa peran kitab-kitab suci yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul Tuhan, meliputi satu makna lahir dan beberapa makna bathin. Tapi ia bukanlah orang pertama yang menugungkapkan hal-hal itu, berkeyakinan atas keberadaan makna bathin dimana apabila makna bathin syariat dan ajaran agama disingkapkan kepada masyarakat awam akan mengakibatkan munculnya masalah dan persoalan psikologis dan sosiologi yang terburuk. Ibnu Rusyd berpandangan bahwa senantiasa terdapat kesatuan hakikat yang memiliki penafsiran-penafsiran yang beragam.
Dengan demikian, penisbahan suatu pandangan mengenai hakikat-hakikat yang saling bertolak nelakang kepada Ibnu Rusyd adalah penisbahan yang tidak beralasan. Dalam aliran politik Latinnya Ibnu Rusyd, penisbahan gagasan itu kepada Ibnu Rusyd sangat masyhur, tapi apabila diperhatikan bahwa perspektif hakikat bathin syariat dan hakikat lahir syariat - yang juga digagas oleh Ibnu Rusyd – ditempatkan secara berjenjang dan berdegradasi, maka mustahil terdapat dua hakikat atau beberapa hakaikat yang saling bertentangan. Dengan perspektif ini, maka mustahil pandangan tentang hakikat-hakikat yang berlawanan itu kita nisbahkan kepada Ibnu Rusyd. Sebagaimana yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa keharmonisan dan kesesuaian antara agama dan filsafat senantiasa menjadi titik tekan para filosof Islam hingga zaman Ibnu Rusyd. Filosof-filosof pasca Ibnu Rusyd kurang lebih menjabarkan masalahtersebut dab mereka mempunyai pandangan yang sama mengenai keharmonisan hubungan antara agama dan filsafat.
Pada abad kesebelas Hijriah, muncul seorang filosof bernama Sadruddin Syirazi yang secara gemilang mengkaji hakikat eksistensi dan meahirkan gagasan-gagasan filsafat yang baru dan cemerlang. Ia meneliti hadits-hadits yang diriwayatkan dari Ahlulbait Nabi as dan berkesimpulan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan bahkan terdapat keharmonisan di antara keduanya. Persoalan ini senantiasa ia tekankan di dalam banyak karya-karyanya, dalam kitabnya bertema Syarh Ushul al-Kafi ia menafsirkan 34 hadits yang shahih berkenaan dengan akal dan keunggulan-keunggulannya. Hadits-hadits tentang akal ini memang paling banyak diriwayatkan dari Imam-imam suci Ahlulbait Nabi as yang disampaikan oleh ulama dan ahli hadits Syi’ah. Sementara hadits-hadits seperti ini sangat jarang diriwayatkan oleh ulama dan ahli hadits Sunni dan bahkan sebagian dari mereka menganggap bahwa hadits-hadits yang berhubungan dengan akal adalah palsu.
Muqaddasi, salah seorang ulama besar Sunni, memandang bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan akal adalah bohong dan palsu. Perlu diperhatikan bahwa Sadruddin Syirazi disamping ia adalah seorang filosof besar juga merupakan ahli hadits, maka dari itu, hadits-hadits yang ia anggap shahih juga dipandang shahih oleh para ahli hadits lainnya.
Allamah Thabathabai, seorang filosof kontemporer, termasuk filosof yang tidak membenarkan adanya pemisahan antara agama dan filsafat, ia memandang bahwa argumentasi rasional-filosofis terhadap masalah-masalah teologi adalah hal yang bersifat fitrah bagi manusia. Dalam hal ini dia berkata, “Adalah salah satu bentuk kedzaliman dan kesesatan apabila kita memisahkan anatara ajaran suci agama-agama dan filsafat transenden. Apakah agama bukan kumpulan dari ma’rifat-ma’rifat Ilahi, akhlaq, dan hokum-hukum? Apakah para Nabi dan Rasul tidak diperintahkan oleh Tuhan untuk mengajak, mendidik, dan mengantarkan manusia kepda hakikat kebehagiaan dan kesempurnaan hakiki? Apakah kebahagiaan dan kesempurnaan manusi tidak terletak pada pengajaran suci agama dan pemberi akal kepda manusia oleh Tuhan untuk menyingkap barbagai rahasia-rahasia alam, mencapai puncak kesempurnaan ma’rifat atas hakikat-hakikat eksistensi atas dimensi-dimensi kehidupan di dunia? Apakah manusia dapat menggapai pemahaman ma’rifat dan ilmu tanpa menggunakan argumentasi rasional, dalil akal dan kontemplasi yang mana merupakan substansi dan hakikat manusia? Bagaimana dapat dikatakan bahwa ajaran agama Ilahi mengajak manusia menentang fitrah dan hakikat wujudnya sendiri serta menyeru manusia untuk menerima segala perkara tanpa dalil akal dan argumentasi rasional? Secara mendasar tidak terdapat perbedaan antara metodologi para Nabi dalam mengajak manusia kepada kebenaran dan apa-apa yang dicapai dan diraih manusia lewat argumentasi yang benar dan logis. Perbedaan keduanya hanya terletak bahwa para Nabi dan Rasul as mendapat pertolongan dari sebab pertama dan meminum langsung dari sumber wahyu.
Para Nabi dan Rasul as memiliki kemampuan untuk turun dari derajat tertinggi dan berbicara dengan manusia sesuai dengan kadar kemampuan akal dan pemahamannya. Semua Nabi dan Rasul as tidak memaksa manusia untuk menerima segala hal tanpa dalil akal dan argumentasi rasional, mereka tidak mengajak manusia dengan taklid buta. Kitab suci al-Qur’an membahas masalah teologi (mabda), eskatologi (ma’ad), dan persoalan metafisika dengan berbagai burhan dan argumentasi. Kitab suci ini sangat memuji ilmu, ma’rifat, akal dan kemandirian intelektualitas serta menentang segala bentuk kebodohan dan taklid buta. Tuhan dalam al-Qur’an berfirman: “katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepda Allah dengan hujjah dan dalil yang nyata, maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Q.S. Yusuf: 108)
Sebagaiman ayat yang disaksikan di atas, Nabi dan Rasul as mengajak manusia kepada Tuhan berdasarkan hujjah, bashirah dan dalil yang nyata. Tak diragukan lagi bahwa ajakan dan dakwah para Nabi berpijak pada bashirah dan bukan taklid tanpa argumentasi. Dan ketika terdapat burhan dan argumentasi, maka kita tidak bias menyatakan bahwa hal tersebut bertolak belakang dengan hikmah dan filsafat. Perlu diperhatikan bahwa filsafat itu jangan dipandang sebagai rangkaian kumpulan dari pemikiran, perspektif dan gagasan filosof-filosof Yunani yang di antara mereka teradapat orang mukmin, kafir, yang benar dan yang salah.
Rujukan:
[1] Abu Hayyan Tauhidi, al-Imta' wa al-Muânasah, jilid pertama, bagian kedua, hal. 15.
[2] Abul Hasan 'Amiri, al-Amad 'ala al-Abad, hal 87.
[3] Abul Hasan 'Amiri, as-Sa'adah wa al-Is'ad, hal. 180.
[4] Abul Hasan 'Amiri, as-Sa'âdah wa al-Is'âd, hal 180.
[5] Ibnu Maimun, Dilâlah al-hairîn, hal 722.
[6] Ibnu Rusyd, Manâhij al-Adillah fi Aqâid al-Millah, hal 133.
[7] Allamah Muhammad Husein Thabathabai, Ali as wa Falsafe-ye Ilahi, penerjemah: Sayyid Ibrahim Sayyid Alawi, hal. 11-12.
0 komentar:
Posting Komentar